Langsung ke konten utama

Kocheng Oren Series : The Legend of Abdul (Chapter 1: Kelahiran)


Matahari sedang angkuh terbang di langit. Dia seakan-akan mengklaim diri sebagai dewa sembari menjilat-jilat permukaan bumi. Termasuk sebuah pasar yang kumuh nan berdebu. 

Di tempat inilah para kocheng dijadikan gelandangan liar oleh Hooman. Hidup keras atau mati hina adalah dua pilihan yang mustahil hilang bagi mereka. Untuk memenuhi urusan perut saja harus menunggu para Hooman yang berbaik hati. Kalau tidak ada, maka mencuri adalah kewajiban mereka. Meski bertaruh dengan siksaan pukulan dari Hooman.

Seekor kocheng betina berjalan tertatih tatih menanggung letih. Dia sedang mengandung anaknya yang pertama. Kakinya yang semakin lemas membuatnya ambruk. Kocheng itu pasti akan melahirkan.



Alangkah terkejutnya, semua kocheng yang dilahirkannya dalam keadaan bangkai yang hancur tergigit. Kecuali hanya seekor bayi kocheng oren yang ia namai Abdul. Ya, sang ibu bukannya sedih. Akan tetapi dengan keanehan demikian, ia meyakini bahwa suatu saat anaknya akan mengambil alih Dunia Hooman.

Sang ibu melatih si Abdul dengan keras penuh kekerasan. Tak jarang jika anaknya gagal, maka cakaran panas menjadi hadiah "terindah" bagi si Abdul. Akan tetapi, akar pahit pasti berbuah manis. Meski baru beberapa minggu lahir, si kocheng oren itu berhasil memburu tikus  dewasa. Peristiwa ini tiba-tiba panas di berbagai media massa milik golongan tikus.




Ada beberapa riwayat dalam kitab Al-Kochengiyah. Penulis mengatakan bahwa selama beberapa minggu setelahnya, si Abdul terus mengasah kekuatannya. Hingga suatu hari, datanglah Mat Bocheng yang merupakan sesosok kocheng preman pasar. Dia tak segan-segan memalak makanan milik kocheng lainnya. Wabah paceklik menggerogoti kehidupan hewan sebangsanya. Sehingga tidak sedikit warga kocheng yang hilang dari pandangan karena mati kelaparan.

Suatu malam, si Abdul yang saat itu masih terlampau muda datang menantang Mat Bocheng. Para warga bergidik karena sang kocheng oren kecil itu memiliki nyali di luar nalar. 

"Woiii dul! Kamu masih kecil! Bahaya! Dia itu iblis!" teriak kepala suku.

"Abdul, kamu jangan mati. Tetaplah hidup bersama harapanku" ucap Gladys. Seekor kocheng Himalaya yang jatuh hati kepada Abdul. Dia hanya menatap dari jendela rumah Hooman.

"Idih, hina sekali jika aku harus bertarung dengan bocah ini. Tapi jika aku menghindarinya, maka stempel pengecut akan menempel di seluruh wajahku dan tak dapat dilepas. Anak kurang ajar kau kocheng oren bar-bar!" celoteh Mat Bocheng.

"Hahaha... Jika kau kalah yang ada di muka kau hanyalah cap pecundang. Kalah kena menang kena kau Mat Bocheng. Hiyahiyahiya" jawab Abdul sambil melancarkan serangan.

Pertarungan yang terlalu singkat menunjukkan bahwa kekuatan sang kocheng preman tak ada apa-apanya dengan si Abdul. Mat Bocheng akhirnya sekarat dicekik sang kocheng oren. Si Abdul disambut sorak sorai seluruh warga kocheng pasar. Si Gladys tersenyum dengan terkesima. Tak sabar ia ingin berjumpa langsung dengan pahlawan baru itu.


Sang ibu kaget mendengar anaknya keluar malam untuk berduel dengan Mat Bocheng. Sesampainya di tempat pertempuran, ia melihat kocheng preman itu terbujur kaku. Karena masih menyisakan rasa panik, sang ibu tetap gusar dan membawa si Abdul pulang. Sambil menyusuri taman yang terang dengan lampunya yang baru.

"Sini pulang! Kecil-kecil sudah bar-bar kamu!"

"Ampun maaakkk... Aku pingin jadi raja para kocheng!"



Meski demikian, sang ibu merasa bangga terhadap pencapaian gila anaknya. Keesokan harinya, kepala suku mendatangi si Abdul dan ibunya untuk berterima kasih. Bahkan dia ingin menyerahkan jabatan kepada sang kocheng oren itu. Akan tetapi si Abdul dan emaknya menolak. Masih ada serangkaian latihan lain demi menjadi ras terkuat di muka bumi mengalahkan Hooman.

(BERSAMBUNG)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Impianku untuk Masa Depan Bandung (Chapter 1)

Setelah Rasulullah menginjakkan kakinya di Madinah, bangunan pertama yang dibangun umat Islam adalah masjid. Bukan istana. ----- Sebagai seorang muslim, saya ingat seperti yang dikatakan mamah. Sedari kecil saya selalu menghitung ada berapa masjid yang dilewati. Hal itu sering dilakukan saat melakukan perjalanan jauh.  Menurut situs sistem informasi masjid (SIMAS), jumlah masjid di Kota Bandung saja tercatat sebanyak 2256 buah! Sangat menggambarkan bahwa masyarakat kota ini bermayoritas pemeluk Islam yang taat.  Namun, sepanjang menempuh perjalanan hidup di Kota Bandung, saya merasa jarang melihat masjid yang berada di pinggir jalan besar. Khususnya di pusat kota. Kebanyakan berada di dalam gang sempit. Sangat sulit menemukan parkir motor apalagi mobil. Hal ini membuat sebagian muslim terutama supir taksi atau ojol semakin terhalang untuk shalat berjamaah tepat waktu. Akan tetapi, tidak jarang terdapat bangunan yang kosong atau tidak terpakai di pinggir...

Ngopi cuma 10k di Kedai Kopi Mewah di Bandung

... itulah yang membuat  stang  sepeda saya seolah dikendalikan  poltergeist  dan berhenti di tempat ini... ----- Sebagai pecinta kopi, tentu berseliweran pula berbagai postingan tentang apa yang dicintai di Instagram miliknya. Mulai dari iklan hingga seni fotografi lainnya. Tapi saya menemukan sebuah iklan yang cukup menarik. Beberapa kedai kopi di Bandung bekerja sama membuat program PANG ! Alias pagi ngopi, mulai jam tujuh sampai sepuluh pagi.  Maklum saja kebiasaan orang Indonesia memang kurang mengenal ngopi di tempat umum saat pagi hari. Maka mereka menyebarkan iklan program itu di berbagai media sosial. Harga kopi yang rata-rata seharga dua puluh ribuan menjadi ceban di waktu spesial itu. Kopi yang didiskon adalah espresso base seperti americano, cappucino dan latte. Sayangnya kopi manual brew tetap pada harganya. Wajar saja kualitas biji kopi yang digunakan biasanya berjenis speciality. Tak terlalu jauh dari rumah saya terdapat s...

Secukil Pengalaman Tentang Ennichisai 2019 (Day 1)

Ah, sudah lama saya gak pijat-pijat keyboard laptop buat ngasih sajen buat blog. Oke langsung aja. Ennichisai adalah festival kebudayaan Jepang yang diadakan komunitas warga Jepang di Indonesia. Biasanya diadakan hanya dua hari dan hanya setahun sekali di kawasan Blok M, Jakarta. Sebelumnya saya sempat menghadiri event ini tahun kemarin sebagai yang pertama. Tapi, Ennichisai tahun ini menurut saya sangat jauh lebih meriah. Ah, maksudku lebih rame aja. Hehe. Terlebih lagi dengan kehadiran moda transportasi baru berupa MRT. Saya tidak seperti wibu lainnya yang mendatangi Ennichisai buat menikmati konser musik, foto bareng cosplay dan sebagainya. Kecuali cuma lewat doang. Karena yang diutamakan menginjakkan kaki di tempat ini adalah: Nyobain jenis makanan Jepang yang seumur hidup belum pernah masuk lambung. Cari brosur pendidikan/pekerjaan di Jepang. FILOSOFI KOPI Belanja pernak pernik perwibuan (tapi bukan ngeborong) Memandang sedikit bagaimana pergerakan wibu dan dal...