Matahari sedang angkuh terbang di langit. Dia seakan-akan mengklaim diri sebagai dewa sembari menjilat-jilat permukaan bumi. Termasuk sebuah pasar yang kumuh nan berdebu.
Di tempat inilah para kocheng dijadikan gelandangan liar oleh Hooman. Hidup keras atau mati hina adalah dua pilihan yang mustahil hilang bagi mereka. Untuk memenuhi urusan perut saja harus menunggu para Hooman yang berbaik hati. Kalau tidak ada, maka mencuri adalah kewajiban mereka. Meski bertaruh dengan siksaan pukulan dari Hooman.
Seekor kocheng betina berjalan tertatih tatih menanggung letih. Dia sedang mengandung anaknya yang pertama. Kakinya yang semakin lemas membuatnya ambruk. Kocheng itu pasti akan melahirkan.
Alangkah terkejutnya, semua kocheng yang dilahirkannya dalam keadaan bangkai yang hancur tergigit. Kecuali hanya seekor bayi kocheng oren yang ia namai Abdul. Ya, sang ibu bukannya sedih. Akan tetapi dengan keanehan demikian, ia meyakini bahwa suatu saat anaknya akan mengambil alih Dunia Hooman.
Sang ibu melatih si Abdul dengan keras penuh kekerasan. Tak jarang jika anaknya gagal, maka cakaran panas menjadi hadiah "terindah" bagi si Abdul. Akan tetapi, akar pahit pasti berbuah manis. Meski baru beberapa minggu lahir, si kocheng oren itu berhasil memburu tikus dewasa. Peristiwa ini tiba-tiba panas di berbagai media massa milik golongan tikus.
Ada beberapa riwayat dalam kitab Al-Kochengiyah. Penulis mengatakan bahwa selama beberapa minggu setelahnya, si Abdul terus mengasah kekuatannya. Hingga suatu hari, datanglah Mat Bocheng yang merupakan sesosok kocheng preman pasar. Dia tak segan-segan memalak makanan milik kocheng lainnya. Wabah paceklik menggerogoti kehidupan hewan sebangsanya. Sehingga tidak sedikit warga kocheng yang hilang dari pandangan karena mati kelaparan.
Suatu malam, si Abdul yang saat itu masih terlampau muda datang menantang Mat Bocheng. Para warga bergidik karena sang kocheng oren kecil itu memiliki nyali di luar nalar.
"Woiii dul! Kamu masih kecil! Bahaya! Dia itu iblis!" teriak kepala suku.
"Abdul, kamu jangan mati. Tetaplah hidup bersama harapanku" ucap Gladys. Seekor kocheng Himalaya yang jatuh hati kepada Abdul. Dia hanya menatap dari jendela rumah Hooman.
"Idih, hina sekali jika aku harus bertarung dengan bocah ini. Tapi jika aku menghindarinya, maka stempel pengecut akan menempel di seluruh wajahku dan tak dapat dilepas. Anak kurang ajar kau kocheng oren bar-bar!" celoteh Mat Bocheng.
"Hahaha... Jika kau kalah yang ada di muka kau hanyalah cap pecundang. Kalah kena menang kena kau Mat Bocheng. Hiyahiyahiya" jawab Abdul sambil melancarkan serangan.
Pertarungan yang terlalu singkat menunjukkan bahwa kekuatan sang kocheng preman tak ada apa-apanya dengan si Abdul. Mat Bocheng akhirnya sekarat dicekik sang kocheng oren. Si Abdul disambut sorak sorai seluruh warga kocheng pasar. Si Gladys tersenyum dengan terkesima. Tak sabar ia ingin berjumpa langsung dengan pahlawan baru itu.
Sang ibu kaget mendengar anaknya keluar malam untuk berduel dengan Mat Bocheng. Sesampainya di tempat pertempuran, ia melihat kocheng preman itu terbujur kaku. Karena masih menyisakan rasa panik, sang ibu tetap gusar dan membawa si Abdul pulang. Sambil menyusuri taman yang terang dengan lampunya yang baru.
"Sini pulang! Kecil-kecil sudah bar-bar kamu!"
"Ampun maaakkk... Aku pingin jadi raja para kocheng!"
Meski demikian, sang ibu merasa bangga terhadap pencapaian gila anaknya. Keesokan harinya, kepala suku mendatangi si Abdul dan ibunya untuk berterima kasih. Bahkan dia ingin menyerahkan jabatan kepada sang kocheng oren itu. Akan tetapi si Abdul dan emaknya menolak. Masih ada serangkaian latihan lain demi menjadi ras terkuat di muka bumi mengalahkan Hooman.
(BERSAMBUNG)
Komentar
Posting Komentar