------------
"Sudahlah bondot reyot! Tinggalkan halusinasi kehidupan setelah matimu. Terlalu sibuk terhadap dongeng zaman purba yang mengada-ngada, sampai lupa realita yang depan matamu sendiri!" bentak Grace dengan menggunakan seragam sekolah yang jauh dari norma agama sang kakek.
------------
Penggalan kajian Shubuh dari seorang kakek renta itu disandangkan kepada negeri yang kini beliau tinggali.
Matahari rupanya sudah terbit. Beliau pulang dari masjid meninggalkan murid-muridnya yang bekerja sebagai marbot, dan mereka tinggal di ruang belakang. Jumlahnya hanya dapat dihitung dengan jari.. Karena dengan hingar bingar duniawi, pekerjaan pengabdi Tuhan dianggap kolot dan hanya dikenal sebagai budaya masa lampau.
Saat melangkahkan kaki, beliau menoleh ke rumah ibadah tua yang kini diapit oleh sebuah sekolah menengah atas bergaya futuristik nan angkuh. Seolah kemajuan peradaban manusia telah memangsa agama dan mengubahnya menjadi kotoran.
Seketika teringat di benaknya perjalanan hidup dengan kenangan manis getir dan pahit bagaimana mempertahankan agamanya dalam negeri ini. Masjid yang menjadi saksi bisu ramainya anak-anak mengaji puluhan tahun silam, perlahan berkurang dimakan kehidupan materialistis dan hedonis.
Baru beberapa puluh meter berjalan hampir saja beliau ambruk. Radang sendi yang menggerogoti kakinya sejak belasan tahun ini kembali kambuh. Akhirnya ia duduk di kursi panjang sebuah taman milik yayasan sekolah itu. Beratapkan pohon Tabebuya dan aneka tugu artistik. Daun-daun keringnya bergerak dan terbang mengikuti irama angin.
Waktu masuk sekolah bisa dibilang masih sangat lama. Beberapa siswi sejenak duduk di kursi panjang yang sama dengan sang kakek. Mereka bertiga merumpi mulai dari konten di media sosial, hiburan hingga masalah asmara. Meski demikian tak lupa membicarakan beberapa materi sekolah.
Seragam minim musim panas yang dikenakan para siswi membuat pandangan sang kakek terbatas. Apalagi dengan kehadiran dua murid sejoli di sampingnya yang bermesraan. Inginnya beranjak dari tempat itu seperti halnya lari dari penyakit kusta. Tapi apa daya butuh beberapa waktu lagi agar sakit kakinya berkurang. Parahnya kini ada sepasang siswa flamboyan yang tak usah ditanya lagi kelakuannya di hadapan beliau. Betapa banyak hafalan ayat Al-Quran yang hilang ditelan pemandangan haram.
Seorang di antara siswi yang berlagak 'ratu' melihat seseorang yang asing. Ia merasa ada kakek bersorban lusuh dan berjubah kusam ikut menduduki "kekuasaannya". Rena, Siswi sii 'paling ratu' itu pun mendekati sang kakek dengan congkak.
"Wah. Jaman gini masih ada aja orang suci 'mau' sekolah ilmiah di mari!" ujarnya merundung.
"Tu... tunggu. Apa yang kamu lakuin?" tanya Reiko sang siswi berabut kuncir dua.
"Yuk kita kasih pelajaran ke orang tua itu!. Biar di dunia ini sudah habis pemikiran kolot macam dia!" timbrung si tomboy Grace yang lebih angkuh.
"E... eh kalian, biarin aja bapak itu sama hidupnya sendiri" pinta Nagisa dengan terbata-bata.
Ketiga siswi itu mendatangi sang kakek, lalu mencecarnya dengan kalimat-kalimat yang bertentangan dengan agama. Mulai dari kehidupan sehari-hari hingga "filsafat manusia lebih tinggi dari Firman Tuhan keluar dari mulut mereka". Akan tetapi sang kakek memilih lebih banyak diam daripada bicara. Ibarat singa di tengah gonggongan anjing betina.
Namun, Nagisa yang pemalu hanya dapat menonton perbuatan mereka. Sampai akhirnya ia menyampaikan pertanyaan yang menjadi pamungkas dari debat rundung terhadap sang kakek.
"Pak, aku mau nanya. Jika seandainya kehidupan setelah kematian itu tidak ada, apakah bapak akan menyesal terhadap semua ibadah yang menyita waktu bapak semasa hidup, ternyata sia-sia belaka?"
Sang kakek tersenyum dan beliau menjawab.
"Hehehe... Jika dunia ini ternyata sama seperti yang kalian percaya, bapak tidak masalah. Kalaupun segala amal ibadah yang dilakukan sia-sia, maka di sisi lain penderitaan bapak pun semua hilang. Semua kembali dalam ketiadaan dan kehampaan. Yang harusnya menyesal itu, orang-orang seperti kalian seandainya kehidupan setelah kematian itu ada! Bekal apa yang dimiliki selain cinta dunia dan takut mati?"
Dengan sumringah beliau merasakan kakinya tak berbeban sama dengan pikirannya. Sang kakek bangkit dan berlalu meninggalkan keempat siswi 'entah'-teis yang ter"savaged" itu.
Komentar
Posting Komentar